BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Selasa, 20 April 2010

The Rhapsody of March

Selasa, 11.03.2010


Inilah yang akan dirasakan ketika engkau berada di antara detik-detik datangnya sebuah badai.

t.e.r.k.e.j.ut.
Dan iniliah yang akan kau rasakan ketika badai itu sudah ada di paru-parumu.



 

r.a.p.u.h.





Kalau ada peribahasa karena nila setitik rusak susu sebelanga, maka di kasus ini karena kesalahan sebelanga rusaklah satu dapur.

Ada banyak distraksi-distraksi yang membuat saya merasa asing di sini. Di tempat saya berada sekarang.




Beware of what you are feeling, because everything could just be dissapeared in a blink of eyes.

Tertangkapkah nada kecewa yang sedang saya rasakan di kalimat itu?

Well, thats how i’m feeling. I feel dissapointed,

dan inilah ratapan saya.



Mari sejenak kita membuka jendela masa lalu.

Berawal dari suatu sore yang aneh. Aneh sampai saya takut sekaligus penasaran akan apa yang akan saya hadapi. Yah, akhir-akhir ini memang saya sedang kurang beruntung. Beberapa kegagalan membuat saya merasa hal ini menjadi sebuah bunyi “ting” dari sekian kegundahan saya. Well, its proven to be true when suddenly i got a phonecall from the man of 2nd building. And he told me i will be the representative of my circle to go abroad joining a magnificent short course of art. Yes, ART. Something that i’ve been dreaming of. Detik itu juga saya terbang ke Saturnus, mengelilingi galaksi, dan baru kembali ketika matahari sudah tidak terlihat lagi di bumi belahan Depok.

Hari itu adalah hari yang sangat indah. Benar-benar indah. Saya menyiapkan apapun yang kira-kira dibutuhkan untuk di sana, saya terus menerus melihat surat yang diberikan olehnya tadi sore. Am i? How could i? WOW. Saya membaca tiap buku yang berhubungan dengan seni, teori, praktek dan yang lainnya. Dan oh, ada satu sesi dimana setiap delegasi dari tiap negara akan mempresentasikan kebudayaan tradisionalnya. Seni tari yang sudah mendarah daging sejak usia TK saya jadikan andalan. Tari topeng atau jaipong bali sepertinya bagus. lalu berlatihlah saya. I’ll do whatever it takes to reach the maximum level. Hari-hari saya menjadi sangat berwarna. Saya tidak mau mendengar apapun, karena yang saya dengar musik tarian saya. Saya tidak membaca apapun, karena yang saya ingin baca hanyalah buku-buku yang saya siapkan itu.

Satu bulan lagi. What i’ve done..hmm still not enough. I need to learn and practice harder.

And harder.

And even harder..



Until one day. One simple day. The simplest of all, i think.

Hari itu tidak aneh. Sebuah Kamis yang biasa saja. Langit seperti biasa, angin yang kadang datang kadang pergi, dan wajah lelah saya yang masih sedang dalam proses rehabilitasi.

“nggak ada kelas, nggy. Tadi bu Ira pergi..jadi Beliau cuma ninggalin bahan diskusi.”

“ok, trus NGAPAIN GUE KE KAMPUS???”

Yah begitulah gambaran singkat mengenai alasan saya tidak latihan menari hari itu. Niat hati mau tidak masuk, namun sepertinya kuliah hari itu penting dan sayang untuk dilewatkan jadi saya memutuskan untuk masuk saja. Saja-ngnya tidak ada kelas.

Dan bergegaslah saya mengejar waktu untuk bisa berlatih walaupun waktunya tidak merestui.

Lalu tiba-tiba, hujan turun sangat deras. Benar-benar deras. No one knows what happened with Zeus that day. Ah mungkin Depok memang begitu karakternya.

Saya sedang berjalan melintasi sederetan mahasiswa yang sedang duduk menunggu hujan sembari bercengkerama di dalam gedung sembilan ketika tiba-tiba saya melihat seseorang- ah itu dia yang bekerja di kantor itu.

Saya menyapa.

Ia menyambut.

Lalu ia mengatakan sesuatu yang mematikan syaraf.

The hole following program, is cancelled.

IS CANCELLED.

Dan dia mengatakan hal sebesar itu dengan gaya seorang teman yang sedang membatalkan janji. Ia mengatakannya dengan sangat cepat. Sangat ringan. Sangat baik.

Ketika saya penyebabnya, ia hanya bilang bahwa semuanya porsinya memang sudah begitu. Yah begitulah sistemnya, katanya.

Kalau memang ini tentang sistem, lantas yang saya baca di surat itu apa? Disebutkan di sana bahwa tidak ada proses lain selain saya berangkat kesana dan program itu dijalankan. Tidak ada ketentuan lain. Tidak ada.

Namun sistem itu ternyata berkehendak lain. Sistem itu berpendapat bahwa seorang di lingkaran itu bisa lebih baik mengikuti sebuah program budaya dibandingkan dengan orang dari lingkaran studi budaya. Saya sungguh tidak mengerti. Lantas bagaimana orang itu akan mempresentasikan seni tradisional Indonesia kalau yang dipelajari adalah hubungan kausalitas sebuah kasus? Lantas bagaimana ia akan menyerap dan mengapresiasi seni jika ia tidak menguasai dasarnya?

Bagaimana?

Bagaimana..dengan saya yang sudah menyiapkan diri dan hampir siap ini?

Bagaimana dengan saya yang berharap banyak di program itu?

Bagaimana dengan saya yang secara resmi sudah menjadi representatif?

Bagaimana dengan surat itu? Bohongkah surat itu?

Atau mungkin semua ini hanya lelucon.

Atau mungkin..

Ah, saya ingin menghilang.



Setelah separuh jiwa kembali dari dimensi penuh keabuan, saya renungi, lalu kemudian saya mengerti.

Bahwa saya adalah korban sebuah sistem. Sistem yang saya tidak tahu sistem apakah itu. Karena yang saya tahu dan mengerti sekarang adalah fakta bahwa saya sangat tidak mengerti.

Mereka terbangkan saya, menanam harapan, lalu melenyapkannya.

Yeah, saya seperti ada di dalam sebuah anekdot.







Tenang. Saya kuat.

Ini adalah yang kedua kalinya.

Tidak apa-apa.

Saya hanya baru mengenal dunia yang sebenarnya.

Thanks God for showing me how the world is run.

0 komentar: